Polemik Ketinting Hasil Kebijakan Pemkot Baubau Seakan Menjustifikasi
Opini : Nasir, SH
Praktisi Hukum sekaligus Pengacara
SIKAP bijak Pemerintah Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam mengevaluasi kebijakan melarang usaha jasa ketinting mengangkut penumpang carteran dari Pelabuhan Rakyat Jembatan Batu menuju Kabupaten Buton Tengah (Buteng) seakan terlalu terburu-buru.
Pasalnya, Surat Edaran Walikota Baubau Nomor : 552.1/3327/Setda tentang Pengaturan Transportasi Penyeberangan Di Pelabuhan Jembatan Batu, seyogianya mengedepankan asas keadilan masyarakat dan kemanfaatan.
Saya selaku praktisi Hukum (Pengacara), menganggap kebijakan tersebut bukan hanya diresapi satu sisi dengan tujuan penertiban pelaku usaha transportasi ketinting, tetapi hal urgennya juga penting agar tidak mematikan langsung usaha tersebut.
Kebijakan itu juga harusnya menjaga anggapan soal diskriminasi dari para operator jarangka/ketinting. Pasalnya, penertiban dengan mengentikan langsung rute ketinting akan menurunkan jumlah pengasihan pelaku usaha tersebut.
Belum lagi, suasana ekonomi yang belum stabil dikarenakan banyaknya kebijakan dari hadirnya pandemi Covid-19. Logia hukum yang dilihat atas eran-peran Pemerintah wajib lebih teliti dan bijak kepada masyarakat.
Setiap produk hukum, pastinya memiliki implikasi sosial, begitupun setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Dapat kita lihat, sebelum berlakunya SE, rute kapal ketinting dari Jembatan Batu ke Pulau Makassar (Puma), terus Jembatan Batu ke Kabupaten Buton Tengah, namun setelah diberlakukan SE itu, timbul pembatasan rute ketinting, sebab hanya boleh beroperasi dengan rute Jembatan Batu ke Puma.
Saya atas nama Nasir SH selaku praktisi Hukum (Pengacara), berharap semoga segera dihadirkan solusi (win-win solution). Peran Pemerintah Kota Baubau jangan juga langsung menjustifikasi kebijakan.
Tetapi, bagaimana Pemerintah dan masyarakat pelaku usaha jasa transportasi dapat duduk bersama, dengan ide solutif yang bisa untung-menguntungkanuntung-menguntungkan(*)
Editor : ATUL