Polemik Hangat Sara Pataanguna vs PO-5 Terjawab, Ini Penjelasan Umar Samiun

waktu baca 5 menit

BAUBAU, TP – Dikotomi tentang nilai Sara Pataanguna dan PO-5 tuntas dan di kupas habis dalam acara Koja-koja Poadhati bertema Sara Pataanguna dan PO-5 dalam Perspektif Ke-Buton-an, yang dipusatkan di Gedung Pancasila Kota Baubau. Senin, (15/02/2021)

Hangatnya polemik ini, dalam debat itu mantan Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun SH, dalam wawancaranya mengatakan, ada dua faktor yang dapat ditelaah didalamnya. Pertama penelaahan nilai PO-5 yang disepakati semua, bahwasanya nilai-nilai yang terkandung dalam Sara Pataanguna tidak bergeser.

Kemudian, kedua mengenai pertanggungjawaban PO-5 yang tidak lain adalah cipta dari karya ilmiah (disertasi, red) Wali Kota Baubau Dr H As Tamrin MH, lalu digemakan kedalam jalannya Pemerintahan, dan keterkaitannya dengan Sara Pataanguna dianggap clear.

Hanya saja, Umar Samiun yang mencoba memperterang menjelaskan, bahwa proporsi dari Prima causa (penyebab utama) frasa binci-binciki kuli dalam falsafah Sara Pataanguna selayaknya tidak disanding dengan hadirnya nilai yang lain, ketika disanding dengan yang lain maka akan menjadi qua causa (penyerta/dampak), sebagai lawan atau penyerta dari prima causa, “inilah yang diturunkan prima causa binci-binciki menjadi lima,” ungkapnya.

“Tapi yang kita harapkan setelah itu sudahlah, ini clear dan secara ilmiah dia sudah mempertanggung-jawabkan, ini yang terberat bagi dia, dan dia lolos disitu kira-kira,” tuturnya Umar Samiun yang juga selaku pemerhati budaya Buton. Senin, (15/02/2021).

Koja-koja Poadhati, dengan Tema: Sara Pataanguna dan PO-5 dalam Perspektif Ke-Buton-an

Sekian banyak penjelasan hadir dari berbagai tokoh budaya, tokoh politik, anggota DPRD, dan bermacam pertanyan, pun akhirnya tersimpul dalam satu kesatuan.

Suatu catatan penting, kata dia bahwa Sara Pataanguna yang meliputi semua ini menjadi pegangan bersama-sama, “baik pemerintah dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan masyarakat,” ucap Umar Samiun

Lebih dalam lagi, penjelasan soal perbedaan, bermula dari empat norma adat termaktub dalam falsafah Sara Pataanguna (Poangka-angka taka, Pomaa-maasiaka, Popia-piara, Pomae-mae-aka yang dibungkus dalam bingkai binci-binciki kuli), dianggap clear (jelas,red) dalam bingkai PO-5 selaku karya ilmiah yang dipertanggungkan-jawabkan Wali Kota Baubau Dr. H. As Tamrin, MH.

Menurutnya, terdapat kesalahan pada prima causa ditarik turun, pada ayat ke-lima dalam PO-5 dan menjadi lawan qua causa, seharusnya tidak di tarik turun menjadi lawan prima causa. “Namun PO-5 ini dari sudut pandang penelitian, jadi ini sudah clear dari karya ilmiah. Dari sisi ilmiah kita tidak bisa masuk, tapi dari sisi nilai-nilai luhur ternyata tidak ada beda disana,” bebernya.

“Tinggal satu yang kita sarankan, jangan kemudian rame terus dipasang PO-5 nya, mestinya yang lebih ditinggikan sara Pataanguna. Tapi ini sudah clear semua,” tegas dia saat ditemui beberapa wartawan usai berakhirnya Koja-koja Sara Pataanguna dan PO-5 dalam Perspektif Ke-Buton-an,

Ditempat terpisah, Dr Tasrifin, selaku tokoh akademisi yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan, tanggapi adanya debat yang terjadi di masyarakat, soal PO-5 mengaburkan falsafah Sara Pataanguna, dan dianggap Plagiasi.

“Tapi Alhamdulillah, melalui Forum Koja-koja ini, kita semua legah, sudah ada penjelasan dari para tokoh-tokoh masyarakat yang hadir,” ucap Dr Tasrifin.

Poin penting bagi dia , bahwa PO-5 itu adalah transformasi nilai dari Sara Pataanguna yang pernah ada pada masa Kesultanan, dan itu sebagai landasan dalam tindakan atau perilaku dari masyarakat Buton.

Demi menunjang era kekinian, muncul disertasi Wali Kota Baubau Dr H. As Tamrin MH, dengan sebutan PO-5, yang lahir dari nilai Sara Pataanguna. Karya ilmiah ini pun berkecimpung demi terwujudnya bidang pemerintahan yang baik untuk menjawab tantangan saat ini.

Dari sini hadirlah suatu ideologi atau jargon yang dikenal dengan PO-5 (Po Ma-masiaka atau saling menyayangi, Po Pia-piara atau saling memelihara, Po Mae-maeaka atau saling menghargai, Po Angka-angkataka atau saling mengangkat harkat, dan Po Binci-binciki kuli atau toleransi)

“Saya kira ini hal yang positif, karena nilai itu tidak pernah mati dari masa Kesultanan hingga kini. Masyarakat Buton tentu bangga bisa terapkan nilai-nilai Sara Pataanguna dalam kehidupan sehari-hari sehari-hari, demikian pula PO-5,” ungkapnya.

Yang katanya, PO-5 mengaburkan Sara Pataanguna, lanjut Dr.Tasrifin, saya kira itu tidak, karena nilai yang terkandung dalam PO-5 telah lama ada, “Hanya kemudian di refleksi kembali, sehingga generasi muda kekinian menjadi sadar,” imbuhnya.

Lalu terkait PO-5 yang disebut-sebut plagiat, kata dia lagi, saya kira itu tidak. Studi ini untuk memperoleh gelar Doktor patut menghasilkan teori baru. “Begitupun PO-5, dengan mereview literatur yang cukup bagus, karena implementasinya di bidang pemerintahan,” jelasnya lagi.

Sambungnya, “Jadi PO-5 tidak akan pernah mengaburkan Sara Pataanguna, karena pada prinsipnya, mempunyai sama-sama memiliki nilai,” katanya.

Dalam konteks kekinian, Ia berpandangan bahwa ini tidak bisa dipungkiri utamanya dunia akademik. Semakin berkembang pemikiran manusia itu hal yang positif, karena tujuan kehidupan manusia adalah perkembangan auto dinamika pemikiran manusia, “jadi salah juga anggapan mengaburkan kalau PO-5 itu bagian dari plagiasi Sara Pataanguna, itu salah besar,” tegasnya.

Ia (Dr. Tasrifin), menjelaskan, bahwasanya disertasi pendekatan PO-5 lebih ke ilmu Pemerintahan, untuk implementasi ke sistem pemerintahan dan masyarakat ada keselarasan, karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai lain.

Untuk menerapkan Sara Pataanguna dengan implementasi ke masyarakat melalui PO-5, tentu butuh proses. Menurut Dr Tasrifin, satu nilai itu membutuhkan waktu yang lama, “itu pun perlahan-lahan,” imbuhnya

Saya kira indikator PO-5 itu sudah jelas, yang penerapan nya itu di kehidupan birokrasi dan sistem pemerintahan di masyarakat dibawah kepemimpinan Dr. H. As Tamrin,” pungkasnya.

Reporter: Atul W

error: Content is protected !!