Pilkada Rasa Corona Hasilnya Minus Kualitas
Irwansyah Anak Petani
9 Desember 2020 mendatang akan dilaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak (Pilkada Serentak) di 270 daerah yang terdiri atas atas 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten.
Pelaksanaan pilkada serentak yang sejatinya dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020 terpaksa harus ditunda karena adanya bencana non alam, yaitu pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang sampai saat ini seluruh masyarakat internasional dipaksa beradaptasi dengan pola kehidupan baru (new normal).
Jujur, tidak mudah merubah pola kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat kental dengan budaya ketimuran yang menjunjung tinggi budaya lokal (local wisdom) dan interaksi sosial yang sarat dengan nuansa keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya.
Namun dengan segala resikonya, Mendagri bersama Dewan Perwakilan Rakyat serta Komisi Pemilihan Umum tetap bersikukuh melaksanakan Pilkada Serentak di era Covid 19.
Tidak tanggung-tanggung Presiden telah mengeluarkan kewenangan subjektifnya melalui Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang telah sepakati menjadi undang-undang agar Pilkada ditunda sampai bulan desember 2020.
Entah apa yang “merasuki” Pilkada Serentak tetap dilaksanakan walaupun jumlah Covid 19 sudah mencapai 121.226 pertangal 7 Agustus 2020, maka penulis menyebut pilkada kali ini adalah pilkada rasa coronayang dibayang-bayangi rasa kecemasan dan ketakutan.
Akankah pilkada rasa corona ini mampu mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan mengurangi terjadinya politik uang (jual beli suara).
Kualitas Demokrasi di Era Covid 19
Bukan apatis, tetapi ragu. Pilkada di era pandemi Covid 19 berpotensi tidak dapat mewujudkan demokrasi yang berkualitas yaitu terwujudnya tingkat partisipasi yang tinggi dan minimnya pelanggaran oleh peserta pilkada.
Perlu diketahui bahwa kesempatan untuk memilih pemimpin di pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum masih bersifat Hak bukan sebagai Kewajiban.
Sehingga masyarakat (voter) tidak mempunyai beban atau hukuman apapun apabila tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Apalagi di era pandemi Covid 19 ini selain takut sama Virus Corona masyarakat juga tidak menemukan alasan tepat karena harus meninggalkan pekerjaan sehari-harinya.
Pertayaannya kemudian adalah, hal apa yang paling berpengaruh terhadap pemilih untuk datang memilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).? Apakah karena visi, misi dan program yang menarik, figuritas calon atau serangan fajar (uang). Perlu penelitian khusus untuk menjawab pertanyaan ini.
Kedepan, penulis menyarankan kepada pembuat aturan, rule maker, agar penggunaan hak memilih di Indonesia dijadikan sebagai kewajiban artinya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya akan diberi sangsi oleh penyelenggara.
Aturan ini penting agar tingkat partisipasi dapat maksimal dan tentu dapat mengurangi terjadinya politik uang (money politic). Perlu diketahui bahwa ada beberapa negara yang menerapkan sangsi kepada warganya apabila tidak menggunakan hak pilihnya, yaitu Mesir, Australia, Belgia, Bolivia, Peru, Singapura, Italia, Yunani, Chili, dan Austria.
Pilkada rasa corona adalah tantangan baru bukan hanya kepada masyarakat tetapi melainkan juga kepada penyelenggara dan peserta pilkada. Karena interaksi sosial pasti sangat dibatasi demi menghindari penyebaran virus corona.
Terbatasnya ruang dialektika antara calon kepala daerah dan pemilih serta interaksi sosial yang sangat terbatas berpengaruh pada sosialisasi visi, misi dan program para peserta pilkada.
Dapat dipastikan bahwa visi, misi dan program calon kepala daerah dan wakilnya tidak dapat menyebar secara menyeluruh kepada masyarakat. walaupun ada anjuran untuk memaksimalkan kampanye melalui media sosial. Namun penggunaan media sosial dibanjiri dengan akun palsu yang sibuk berkampanye hitam (black campaign) ketimbang kampanye positif. Lagi-lagi kualitas demokrasi akan semakin jauh.
Pilkada dan Spirit Anti Korupsi
Tidak bisa dipungkiri, pilkada rasa corona akan menjadi momentum yang bersejarah bagi pegiat demokrasi dan pegiatanti korupsi karena tanggal 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi yang diselenggarakan setiap tahun.
Semoga saja Pilkada tahun ini dapat menjadi pintu gerbang bagi kepala daerah terpilih agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sebab pilkada rasa corona ini sangat rawan politik transaksional sebagaimana dikatakan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini bahkan salah satu Bakal Calon Bupati(petahana) Kabupaten Kutai Timur terpaksa berbaju orange akibat Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tantangan tersendiri pelaksanaan pilkada rasa coronaini adalah terbebas atau minimnya serangan fajar atau money politic. Hemat saya, politik uang akan semakin “mengila” karena Badan Pusat Statistik telah merilis angka pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen pertanggal 5 Agustus 2020. Artinya, ekonomi negara dan pendapatan rakyat tidak berimbang antara pemasukan dan pengeluaran.
Sejatinya, pilkada merupakan sarana konstitusional untuk melakukan regenerasi atau penyegaran kepemimpinan 5 tahunan, sekaligus sebagai kesempatan bagi calon kepala daerah bersama wakilnya untuk mendialogkan rencana program-programnya secara langsung kepada rakyat bukan untuk menukar uang pasangan calon dengan suara rakyat.
Sebab pemilihan yang dimenangkan dengan politik uang berpotensi menimbulkan korupsi dan konspirasi besar-besaran dan pada akhirnya demokrasi rakyat hanya menjadi sarana formalitas layaknya “drama korea”.
Demokrasi bukan lagi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat bersama rakyat tetapi demokrasi menjadi dari uang oleh uang dan untuk uang bersama uang. Tapi awas KPK ada dimana-mana!!!.
Parpol dan Bakal Calon Kepala Daerah
Partai Politik (Parpol) adalah pilar demokrasi, maka keberadaan parpol menjadi suatu keniscayaan. Namun, keberadaan partai politik perlu direkonstruksi agar parpol tidak menjadi “kendaraan rental” calon kepala daerah bersama wakilnya.
Artinya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol perlu direvisi terutama pada penentuan syarat bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Sebab, banyak sekali calon kepala daerah diamputasi oleh partainya sendiri, kalau sudah begini maka parpol akan semakin tidak dipercaya oleh masyarakat sebagai laboratorium pemimpin di masa mendatang.