SPPT PBB Bukan Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah
Oleh : Kenny Rochlim
Manager legal PT Ceria Nugraha Indotama
KOLAKA, TRIASPOLITIKA.ID – Manager legal PT Ceria Nugraha Indotama Moch Kenny Rochlim, menanggapi pernyataan Ketua LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Sultra terkait Surat Perihal Audance serta permasalahan klaim tanah masyarakat lokal yang mendampingi atau kuasa dari ibu Nurdiati pekerjaan PNS, beralamat jalan poros sulawesi Desa Ulu Konaweha Kec Samaturu, memegang Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 1994, bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Pokok Agraria tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), kepemilikan hak atas tanah harus berdasarkan sertifikat hak milik (SHM). Maka SPPT Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukan bukti kepemilikan hak atas tanah,” kata Moch Kenny Rochlim, Rabu (22/02/2023).
Menurut Kenny, sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah sebagai diatur dalam pasal 32 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tantang Pendaftaran Tanah.
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”, jelasnya.
Kenny menjeskan bahwa Pemegang sertifikat yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.
“Surat pemberitahuan pajak terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) bukan bukti kepemilikan hak tanah. Sebelum dikenal dengan SPPT PBB bukti pembayaran pajak, namanya Ipeda, Ketitir, Petuk D,” ujar Kenny.
Kaidah hukumnya menurut kenny adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No: 34 K/Sip/1960 tanggal 10 Pebruari 1960 “Girik, ketitir petuk dengan apapun namanya hasil fiscal kadaster bukan tanda bukti hak atas tanah atau sawah”.
Demikian pun kadiah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No: 663 K/Sip/1970 tanggal 22 maret 1972 “Ketitir tanah, Petuk D bukan merupakan bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya merupakan bukti tanda pajak tanah dan bukan menjamin bahwa orang yang namanya tercantum dalam ketitir tanah tersebut adalah juga pemilik”.
Kaidah hukum yang dijelaskan sangat tegas bahwa kepemilikan hak atas tanah wajib dibuktikan dengan sertifikat. “Jadi jika seseorang mengklaim sebagai pemilik hak atas tanah maka ia harus membuktikannya dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB),” tegas Kenny.
SKT Bukan Bukti Kepemilikan
Demikianpun yang diungkapkan dalam pernyataan Ketua LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Sultra bahwa ibu Nurdiati mempunyai Surat Keterangan Tanah (SKT).
Menurut Kenny bahwa SKT pun bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, SKT hanya dapat dibuat guna menyaksikan kebenaran pernyataan subjek pendaftaran hak atas tanah pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota, dimana SKT tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan kebenarannya perlu di uji oleh pejabat yang berwenang, karena kepemilikan hak atas tanah harus dikuasai oleh suatu hak atas tanah berdasarkan sertifikat.
Kenny menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Hak atas Tanah, sebagaimana dalam BAB IV Pasal 11 telah ditegaskan, yang berwenang memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah, jika luasannya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, bukanlah berada ditangan Kepala Desa, melainkan menjadi wewenang Kepala Kecamatan.
Untuk jelasnya, ketentuan hukum dari Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Kepala Kecamatan memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah jika luasnya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu”.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan alasan apapun, Kepala Desa/Lurah sebenarnya tidak mempunyai wewenang menerbitkan ijin membuka tanah kepada siapapun.
Wewenang pemberian ijin membuka tanah seperti dimaksud dalam Bab IV Pasal 11 Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut, sejak tahun 1984 sudah tidak bisa lagi dipergunakan/dilakukan, baik Kepala Desa/Lurah maupun Camat di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Pasalnya, wewenang memberikan ijin membuka tanah itu sudah dibatalkan atau dicabut oleh Menteri Dalam Negeri melalui surat instruksinya No.593/ 5707/SJ tertanggal 22 Mei 1984, dimana disampaikan kepada para Gubernur se-Indonesia.
Selanjutnya, kaidah hukumnya dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 91 K/Pdt/2016, berkepala DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, dalam kesimpulan Hal 34 — 35 “Bahwa sejak berlakunya UUPA yakni diterbitkannya Peraturan Mendagri No 6 Tahun 1972 izin membuka tanah menjadi kewenangan Bupati/Walikota serta Camat dibantu oleh Kepala Desa.
Tetapi pada Tahun 1984 wewenang Camat yang dibantu oleh Kepala Desa tersebut dicabut melalui Instruksi Mendagri No. 593/5707/SJ tanggal 22 Mei 1984.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka SKT yang di buat oleh Camat atau Kepala Desa adalah praktek-praktek yang melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya terhadap kebijakan dalam bidang pertanahan, sebab secara hukum Camat/Kepala Desa tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan izin membuka tanah yang statusnya merupakan tanah yang dikuasai langsung negara atau tanah hak pengelolaan.
WIUP PT Ceria
Menyoal Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Ceria Nugraha Indotama (PT CNI) di Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), seluas 6.785 Ha, dikenal dengan sebutan Blok Lapao-Pao, secara histori merupakan wilayah pertambangan eks Kontrak Karya PT INCO,Tbk sejak Tahun 1968 sesuai Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT International Nikel Indonesia (PT INCO, TBK) tanggal 27 Juli 1968 hingga penciutan tahap Operasi Produksi dan dikembalikan ke negara berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 483.K/30/DJB/2010.
PT CNI dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dan pembangunan Smelter tetap dibebankan pembayaran iuran tetap atau istilah Landrent (Sewa tanah secara khusus) setiap tahunnya, iuran eksplorasi maupun iuran produksi dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) pembayaran Objek Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara yang dihitung secara keseluruhan luasan IUP, yakni seluas 6785 ha dengan nilai sebesar Rp. 7,6 Miliar serta Objek PBB lahan yang di manfaatkan serta bagunan yang telah terbangun sebesar Rp. 111 juta. Objek PBB yang di bebankan kepada PT CNI tersebut merupakan Objek Pajak PBB P3 yang dipungut oleh Pemerintah Pusat. Sementara Objek pajak PBB P2 yang di pungut oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat merupakan Objek Pajak PBB P2 (Perkotaan dan Perdesaan).(*)