Renungan Hari Kemerdekaan, Menjadi Manusia Merdeka
SETIAP tanggal 17 Agustus Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan. Tahun ini republik kita berulang tahun yang ke-75 dalam suasana yang tidak semeriah sebelumnya. Kampung-kampung yang biasanya dimeriahkan dengan berbagai macam lomba 17-an setiap bulan Agustus, tahun ini sudah ditiadakan untuk menghindari kerumunan. Apalagi kita juga tahu bahwa jumlah kasus positif Covid-19 ini masih tinggi.
Pertanyaan yang tidak bosan ditanyakan saat momentum Hari Kemerdekaan tiba adalah “Apakah kita sudah merdeka?”. Jawaban dari pertanyaan ini bisa jadi beragam. Tergantung bagaimana setiap individu memaknai kata merdeka dan kemerdekaan itu sendiri. Tulisan ini akan mengurai sekilas tentang makna merdeka dan kemerdekaan menurut perspektif saya.
Kata merdeka, yang berada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berani, dengan arti: (1) bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya); berdiri sendiri (2) tidak terpengaruh atau lepas dari perintah (3) tidak terikat, tidak bergantung pada orang atau pihak tertentu; leluasa. Sementara kemerdekaan (n). berarti keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi dan sebagainya); kebebasan. Dari pengertian ini bebas akan membahas tentang apa itu bebas dan kebebasan.
Menjadi bebas atau memiliki kebebasan adalah anugerah dari Tuhan. Kebebasan membuat kita bisa hidup sebagai manusia yang bebas, manusia yang merdeka. Lalu, kebebasan seperti apa yang dimaksud? Apakah kebebasan tanpa batas sehingga manusia boleh bertindak sesukanya?
Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Kita semua tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial sehingga wajar jika kita hidup berdampingan dan membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Selain itu, kita juga hidup berdampingan dengan ciptaan-Nya yang lain, seperti hewan, tumbuhan dan alam sekitar.
Manusia diamanahi tugas dan peran mulia oleh Tuhan sebagai khalifah di muka bumi. Yang berarti kita diperintahkan untuk memakmurkan dan menjaga bumi Allah. Hal ini tentu menimbulkan hak dan kewajiban yang melekat pada diri kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, kebebasan yang kita miliki kebebasan yang tanpa batas. Namun kebebasan yang tanggung jawab. Ketika kebebasan yang bertanggung jawab atas orang-orang yang bertanggung jawab dan merusak alam, berarti kita sebenarnya telah melakukan penjajahan atas mereka dan mengabaikan tanggung jawab itu sendiri.
Untuk memperjelas hal ini, saya akan jabarkan dua contoh yang sekiranya bisa kita renungkan bersama. Suatu hal yang semoga bisa menyadarkan kita betapa kita sebagai manusia kadang menjadi penjajah atas hidup seseorang sekaligus masih terjajah oleh hawa nafsu dan kebodohan.
Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Kita semua tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial sehingga wajar jika kita hidup berdampingan dan membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Selain itu, kita juga hidup berdampingan dengan ciptaan-Nya yang lain, seperti hewan, tumbuhan dan alam sekitar.
Manusia diamanahi tugas dan peran mulia oleh Tuhan sebagai khalifah di muka bumi. Yang berarti kita diperintahkan untuk memakmurkan dan menjaga bumi Allah. Hal ini tentu menimbulkan hak dan kewajiban yang melekat pada diri kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, kebebasan yang kita miliki kebebasan yang tanpa batas. Namun kebebasan yang tanggung jawab. Ketika kebebasan yang bertanggung jawab atas orang-orang yang bertanggung jawab dan merusak alam, berarti kita sebenarnya telah melakukan penjajahan atas mereka dan mengabaikan tanggung jawab itu sendiri.
Untuk memperjelas hal ini, saya akan mengatakan dua contoh yang sekiranya bisa kita renungkan bersama. Suatu hal yang semoga bisa menyadarkan kita betapa kita sebagai manusia kadang menjadi penjajah atas hidup seseorang sekaligus masih terjajah oleh hawa nafsu dan kebodohan.
Kebebasan dan Tanggung Jawab Pada Alam
Kita diberi kebebasan untuk mengeksplorasi, mengambil dan mengolah kekayaan alam untuk digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup kita. Namun kita tidak diperkenankan untuk mengambil semuanya secara serakah dan berlebihan agar kekayaan tersebut dapat dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya. Selain itu, keserakahan manusia bisa membuat keseimbangan alam jadi rusak.
Coba pikirkan, berapa hektar hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit? Berapa ekor satwa liar yang diburu hanya untuk dijual, dipelihara atau diambil bagian tubuhnya karena dipercaya bisa menjadi obat? Padahal sejauh ini belum ada penelitian ilmiah yang mengonfirmasi bahwa cula badak dan gading gajah berkhasiat sebagai obat.
Lalu, ketika musim hujan tiba dan terjadi banjir, kita buru-buru menyalahkan pemerintah. Padahal banjir terjadi juga karena perilaku kita sendiri. Apakah kita lupa siapa yang menggunduli hutan? Siapa yang menanam gedung-gedung tinggi sehingga resapan air berkurang? Siapa yang membuang sampah di bantaran kali secara sembarangan?
Kebebasan dan Tanggung Jawab di Dunia Maya
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Zaman dulu orang berkomunikasi melalui surat dengan orang yang berada di kota atau negara lain yang tentunya memakan waktu lama. Sekarang berkomunikasi jarak jauh bisa dilakukan melalui chat, telepon atau video call dengan aplikasi seperti WhatsApp, Line, Skype dan lain-lain.
Interaksi sosial kita sekarang tidak hanya terjadi di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Dengan media sosial kita bisa posting atau share apapun yang kita inginkan. Mulai dari teks, foto bahkan video. Semua orang bisa melihat dan mengetahui apa yang kita bagikan. Dari sinilah akan ada orang-orang yang memberi like atau saling berbalas komentar pada postingan kita. Seperti inilah interaksi terjalin di dunia maya.
Dunia maya memang memberi kebebasan bagi kita untuk mengungkapkan atau mengekspresikan apapun lewat postingan-postingan kita. Namun, benarkah dunia maya sebebas itu? Jawabannya adalah tidak.
Kebebasan tanpa batas di dunia maya dapat melahirkan kejahatan-kejahatan seperti online shaming, hoax spreading, hate speech dan tindakan-tindakan jahat lainnya. Saya punya kebiasaan mengamati komentar para netizen setelah membaca artikel atau menonton video di YouTube. Saya sering menemukan komentar-komentar yang berisi hinaan dengan kata-kata kasar sampai yang bernada diskriminatif dan debat kusir yang tidak berfaedah. Ada pula yang komentar asbun (asal bunyi) dan tidak sesuai konteks. Topik yang dibahas tentang A tapi komentar tentang Z.
Dan menyebalkannya lagi, orang-orang seperti itu kalau ditegur selalu marah-marah dan mengatakan, “Suka-suka gue mau komentar apa. Gue kan cuma menyampaikan pendapat.” Separah inikah tingkat kebodohan netizen +62?
Penutup
Dengan bertambahnya usia republik ini, saya berharap agar kemerdekaan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Saya berharap agar kita benar-benar menjadi manusia merdeka, yaitu manusia-manusia yang memiliki kebebasan namun tidak melupakan tanggung jawabnya. Merdeka dari segala bentuk penindasan, pelecehan, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan dan hal-hal tidak manusiawi lainnya. Akhir kata, saya ucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke-75. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua.
Salam Merdeka!