Miskin Disalahkan, Kaya Dituduh Pesugihan

waktu baca 5 menit
Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk (Pixabay.com)
  • Penulis: Andre Rizal Hanafi

Hidup di desa itu katanya enak. Udara segar, orang-orang ramah, suasana tenang. Kalau butuh cabai, tinggal petik di kebun tetangga. Dari luar, hidup di desa tampak seperti surga kecil yang penuh kehangatan—semua saling sapa, saling bantu, saling peduli.

Tapi itu cuma di brosur pariwisata. Atau di unggahan influencer kota yang baru dua malam menginap untuk “detoks sosial media”.

Kenyataannya, hidup di desa, apalagi kalau kamu lahir miskin, bisa terasa seperti bermain di hard mode.

Fase pertama: miskin di desa

Kemiskinan di desa bukan cuma tentang tidak punya uang. Ia adalah soal status sosial, soal cibiran, soal tatapan yang mencampur kasihan dan rasa jijik. Kadang, juga soal fitnah yang muncul entah dari mana.

Kalau kamu lahir di keluarga pas-pasan, kamu pasti paham rasanya jadi “objek kasihan” sekaligus “bahan omongan”.

“Kasihan ya, anaknya Bu Siti belum juga kerja.”
“Rumahnya belum direnovasi dari dulu, padahal saudaranya banyak yang kaya.”

Kata kasihan di desa sering bukan simpati, tapi pembuka gosip.

Yang orang-orang tak tahu, di balik kalimat itu ada peluh yang menetes sejak fajar. Ada tangan yang lelah mencari kerja, dari satu kebun ke kebun lain, dari proyek ke proyek. Tapi di desa, kerja keras tak selalu berbanding lurus dengan hasil.

Dan kalau kamu mencoba memperbaiki nasib dengan merantau, komentar baru muncul:

“Anak muda zaman sekarang, sukanya ninggalin kampung. Nggak betah hidup sederhana.”

Tinggal salah, pergi juga salah. Di desa, kadang kamu hidup di arena tanpa jalan untuk menang.

Fase kedua: sukses yang dicurigai

Idham, teman masa kecilku, pernah mengalami hal itu.
Ia dulunya tukang sablon di kampung, lalu kuliah DKV di Semarang. Kini, ia bekerja sebagai desainer lepas dengan klien luar negeri. Pendapatannya puluhan juta per bulan. Ia bisa bantu orang tua, beli mobil, bahkan menabung.

Tapi di mata warga, kesuksesan seperti itu terlalu cepat, terlalu “tidak masuk akal”.

“Kok bisa cepat banget ya kayanya?”
“Katanya Idham itu pesugihan, lho. Kerjanya di rumah terus, kayak lagi ritual.”

Lucu, di era serba digital, orang yang bekerja lewat laptop dianggap memelihara jin. Padahal, kalau mereka tahu Idham bisa lembur sampai subuh demi revisi klien luar negeri, mungkin yang muncul bukan iri, tapi iba.

Tapi siapa peduli? Di desa, kerja keras jarang dilihat. Yang mencolok cuma hasilnya—dan hasil yang mencolok harus punya cerita mistis agar bisa diterima logika kampung.

Akhirnya, Idham menyerah. Ia tinggalkan dunia desain dan bekerja di pabrik dengan gaji UMK. Katanya, “Setidaknya di sini nggak ada yang nuduh aku pelihara tuyul.”

Ketika sukses dianggap aneh

Pasangan muda di desaku juga pernah jadi bahan gosip. Mereka berjualan gamis dan hijab lewat Facebook. Pelan-pelan naik, punya mobil, renovasi rumah, dan mempekerjakan tetangga.

Tapi ketika suaminya meninggal mendadak, gosip cepat menyebar.
“Katanya itu pesugihan. Suaminya jadi tumbal.”

Padahal, yang menyebar kabar itu justru orang-orang yang iri—yang dagangannya sepi, tapi malas belajar jualan online. Yang tiap sore nongkrong di pos ronda, tapi panas hati lihat orang sukses.

Ironisnya, desa yang bangga dengan semangat gotong royong, kadang lebih cepat bergotong royong dalam menyebar fitnah.

Iri yang dibungkus kepedulian

Di kota, orang cuek. Kamu sukses atau gagal, mereka tidak peduli. Tapi di desa, semua orang peduli—hanya saja, kadang kepeduliannya salah arah.

Kalau beli motor baru, orang bertanya, “Dapat dari mana uangnya?”
Kalau jarang nongol, dibilang sombong.
Kalau sering nongol, dibilang pamer.

Sekali dicap “pelaku pesugihan”, cap itu seperti noda yang tak bisa hilang. Padahal, yang kamu punya hanya laptop, koneksi internet, dan tekad untuk kerja keras. Tapi kerja keras tak punya nilai mistis, jadi tak menarik untuk diceritakan.

Sisi lain dari ramahnya desa

Citra desa yang ramah itu tidak sepenuhnya salah. Warganya memang mudah tersenyum, suka menolong kalau ada musibah. Tapi kalau kamu terlalu menonjol, keramahan itu bisa berubah jadi kecurigaan.

Di balik sapaan hangat, ada tatapan ingin tahu.
Di balik obrolan di warung kopi, ada gosip yang beranak-pinak.

Mungkin itu sebabnya banyak anak muda perantauan jarang pulang. Bukan karena lupa kampung halaman, tapi karena lelah menjawab pertanyaan yang sama:
“Kapan nikah?”
“Udah punya rumah belum?”
“Kerjanya apa sih kok santai tapi banyak uang?”

Miskin disalahkan, kaya dicurigai

Ironi terbesar hidup di desa adalah:
miskin disalahkan, kaya dicurigai.

Kalau kamu miskin, kamu dianggap malas.
Kalau kamu kaya, kamu dianggap pesugihan.
Kalau kamu biasa-biasa saja, kamu dianggap belum waktunya sukses.

Rasa iri di desa sering dibungkus dalam kalimat “hanya ingin tahu”. Tapi ujungnya selalu sama—ketidakmampuan menerima bahwa orang lain bisa sukses tanpa merugikan siapa pun.

Harapan dari desa

Saya tidak sedang menjelekkan desa. Hidup di desa tetap punya keindahan yang tak tergantikan: udara pagi yang segar, suara ayam, dan ketenangan yang tak dijual di kota.

Tapi kalau bicara soal mentalitas sosial, masih banyak yang harus diperbaiki.
Gotong royong bukan berarti semua harus punya nasib yang sama. Gotong royong berarti saling mendukung meski nasib berbeda.

Kalau ada tetangga sukses, bersyukurlah. Siapa tahu bisa ikut belajar.
Kalau ada yang miskin, bantu semampunya. Siapa tahu besok dia yang menolong balik.

Karena sejatinya, pesugihan paling nyata di dunia ini bukanlah yang memanggil jin.
Tapi pesugihan bernama kerja keras, tekad kuat, dan kemauan untuk terus berjuang meski hidup sering terasa tidak adil.