Luka Digital di Balik Layar: Cerita Cosum yang Terjebak di Dunia Maya
- Penulis : Dekri Adriadi
Di sudut Kota Kendari yang tenang, cahaya layar ponsel tak pernah benar-benar padam. Di warung kopi, di kamar sempit yang ditemani kipas berdecit, di bawah lampu jalan yang temaram—semuanya menyisakan satu hal yang sama: dunia digital yang hidup bahkan ketika manusia mulai tertidur. Dunia yang menjanjikan koneksi, tapi juga menyimpan jebakan.
Cosum tahu itu sekarang. Tapi dulu, ia hanya seorang pemuda biasa. Umurnya baru lewat dua puluh, masih penuh rasa ingin tahu dan keinginan untuk “mencoba hal baru”.
Ia bukan orang jahat, bukan pula orang bodoh. Hanya… terlalu percaya.
Malam itu, sekitar pukul sebelas, suara temannya terdengar lewat pesan suara.
“Bro, coba deh BeeTalk. Banyak cewek di situ. Tinggal aktifin radar, langsung muncul yang deket-deket.”
Suara itu seperti bisikan penasaran yang tak bisa diabaikan.
Cosum menatap layar ponselnya. Ia mengetik “BeeTalk” di Play Store. Unduh. Instal. Buka.
Dalam hitungan detik, radar mulai berputar. Wajah-wajah muncul, sebagian berpura-pura tersenyum dalam diam, sebagian lain menggoda lewat profil singkat.
Lalu muncul satu nama: JESSY.
Kulit cerah, rambut terurai, senyum tipis yang entah kenapa terasa dekat.
“Hy Cosum ”
Satu sapaan, dan dunia seolah berhenti sejenak.
Percakapan mereka mengalir cepat—seperti dua orang yang sudah lama kenal. Jessy menulis dengan cara yang lembut tapi menggoda. Ia bilang sedang menginap di Hotel Horison, “lagi boring sendirian”.
Lalu, tanpa banyak basa-basi, Jessy menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan.
“ST atau LT?”
Cosum sempat bingung, tapi cepat paham. Ia mencoba menawar.
“Satu juta, bisa?”
“Bisa, tapi kamu transfer dulu ke manager-ku ya. Namanya Rio.”
Rio muncul lewat chat. Nadanya sopan, nyaris profesional. Ia mengirimkan nomor rekening BCA atas nama Yulius Kambuno.
Dan di titik itu, akal sehat Cosum seperti ditelan hasrat yang terlalu cepat mengambil alih. Ia mengetik nominal, menekan tombol biru bertuliskan “Kirim”, dan beberapa detik kemudian, layar ponselnya menampilkan pesan:
Transfer Berhasil.
Lalu ia berangkat. Malam di Kendari sedang hangat, langitnya bersih. Cosum membawa harapan sederhana—mungkin pertemuan singkat, mungkin pengalaman baru.
Tapi begitu tiba di lobi Hotel Horison, semua berubah menjadi dingin.
“Maaf, Pak,” ujar resepsionis sopan, “tidak ada tamu bernama Jessy yang menginap di sini. Rio? Kami juga tidak kenal.”
Cosum terdiam. Ponselnya bergetar, tapi bukan pesan dari Jessy—melainkan notifikasi saldo rekeningnya yang berkurang sejuta rupiah.
Ia mencoba menelpon, tak ada jawaban. Nomor Rio tak aktif, akun Jessy sudah hilang.
“Rasanya aneh,” katanya lirih, ketika mengenang malam itu. “Saya tidak cuma kehilangan uang. Tapi kehilangan rasa percaya.”
Beberapa hari kemudian, ia mendatangi kantor polisi. Laporan dibuat, namun harapan untuk uang itu kembali terasa kecil.
Yang tersisa hanyalah pelajaran—dan luka digital yang menempel lama di hati.
Kini Cosum tak lagi mudah percaya pada wajah cantik di layar ponsel. Ia bicara lebih hati-hati, memilih diam ketika rasa ingin tahunya muncul lagi.
“Kalau bisa,” ucapnya, menatap jauh ke arah jalan, “jangan sampai ada yang kayak saya. Dunia maya itu seperti pisau—tajam kalau kita tak hati-hati.”
Dan malam di Kendari kembali tenang. Tapi di balik setiap layar yang menyala, selalu ada cerita—tentang keinginan, penyesalan, dan seseorang yang pernah percaya terlalu cepat.
Catatan Redaksi:
Fenomena penipuan digital seperti yang dialami Cosum terus berkembang seiring teknologi. Aplikasi pertemanan kerap disalahgunakan untuk menjebak korban, terutama yang dilandasi nafsu dan kelengahan. Waspadalah terhadap modus seperti ini. Periksa, verifikasi, dan selalu gunakan akal sehat sebelum mempercayakan uang—apalagi diri sendiri—kepada sosok maya yang belum tentu nyata.







