Kontroversi Dibalik Dampak Pembangunan Talud, Dinilai Ancam Pariwisata dan Nelayan Wakatobi
WAKATOBI, TP – Kehadiran pembangunan proyek Talud di Desa Wapia-pia, Kecamatan Wangi-Wangi sampai saat ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat Wakatobi. Bagaimana tidak pembangunan yang dilakukan di wilayah Wisata pantai Cemara ini mendapat respon positif dan negatif dari masyarakat Wakatobi.
Berbagai tanggapan tidak hanya datang dari masyarakat pemerhati lingkungan namun dari berbagai pihak dari setiap kalangan bahkan telah mencuat kebebarapa grup online tentang dampak pembangunan tersebut.
Pembangunan talud tersebut membawa respon negatif sebagian masyarakat terutama dari kalangan Nelayan menyayangkan adanya pembangunan tersebut karena akan kesulitan ketika musim barat tidak akan ada tempat perlindungan untuk body (perahu kecil) berlindung.
“Ketika musim angin nanti (angin barat), dimana kami harus mencari tempat perlindungan perahu yang dipakai menangkap ikan. Bagaimana dengan nasib perahu kami, kami akan merasa kesulitan menaikan dan menurunkannya kembali,” ungkap La Upa selaku nelayan setempat.
Dirinya juga mengatakan sudah pasrah terhadap apa yang terjadi, sebagai masyarakat biasa dirinya tidak bisa berbuat banyak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan pesisir pantainya.
Di tempat yang sama salah satu nelayan di Desa Wapia-pia, Sayudin menuturkan, pasir ini sudah menjadi kebanggaan kita disini, dari nenek moyang kita dulu pasir ini terjaga. Dengan adanya pemecah ombak itu sudah besar sekali amannya untuk kami sebagai masyarakat pesisir.
“Tidak ada ancaman abrasi disini (Desa Wapia-pia). Kami minta dari pihak Kementerian PUPR kalau masi ada kebijaksanaan, cobalah ikuti kemauan kita nelayan untuk proyek tersebut di geser ke arah laut 25 meter. Dari awal itu tidak ada yang menolak hanya penempatannya saja ini talud yang kami persoalkan,” kata Sayudin. Selasa, (7/9/2021).
Sementara itu disisi berbeda respon positif datang dari masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Dimana berdasarkan keterangan lebih lanjut mereka bersyukur atas dibangunnya talud karena dapat melindungi rumah mereka dari abrasi pantai.
“Kalau musim barat pada umumnya selama ini, ibaratnya kami ini sudah kenyang karena kapan sudah musim ombak pada musim barat air mengalir sampai dipinggir jalan (banjir air pasang). Makanya kami berterima kasih sekali dengan pembangunan talud ini. Kalau untuk kami yang pesisir ini kami berterima kasih sekali. Lagipula kalau musim barat kita punya sumur ini bukan lagi warna putih tapi sudah warna merah,” ungkap Saniati masyarakat setempat.
Dalam keterangannya juga dirinya tidak memungkiri bahwa yang menjadi permasalahan sampai saat ini adalah tentang nasib body dari nelayan disini.
“Kalau dibikinkan tanggul begitu setengah mati katanya mau kasih naik ikan, dari pertamanya sosialisasi pembangunan talud ini kepada masyarakat tidak ada. Rapat- rapat baru diadakan setelah membangunan talud ini, itupun yang dari pesisir tidak ada undangan hanya yang diundang nelayan. Kenapa tidak dari awal supaya tidak masuk ke Desa-nya kita. Dari awalnya pembangunan ini tidak ada kompromi. Nanti mau dibangun pembangunan tahap 2 ini beberapa masyarakat mulai menolak kembali,” tambahnya lagi.
Sementara itu tanggapan juga datang dari Kepala Dinas Pariwisata Wakatobi, selaku pemangku kebijakan pariwisata dirinya turut prihatin dengan konteks pembangunan Desa Wapia-pia yang tidak mengarah pada pengembangan potensi Wisata.
“Kalau dari kacamata itu, saya katakan bahwa apa yang ada hari ini sangat tidak sesuai dengan konteks kebutuhan untuk pengembangan pariwisata kita, karena di pantai itu karakter potensi wisatanya mempunyai pantai yang indah bisa saya bilang satu-satunya di Kabupaten Wakatobi,” ungkap Nadar Kadis Pariwisata Wakatobi beberapa waktu lalu.
Sementara kata Adi Majuun selaku pemuda Wakatobi yang melihat permasalahan ini sebenarnya simpel, hanya saja pihak PUPR dan dinas pariwisata kurang solutif dalam memecahkan masalah yang dalam pandangannya membuat konflik antara masyarakat pesisir yang menginginkan talud dan nelayan.
“Untuk menjaga pantai dari abrasi bisa di buatkan pemecah gelombang seperti contoh di bahari kabupaten Buton Selatan, dibuat pemecah gelombang beberapa ratus meter dari bibir pantai dan juga bisa sebagai pelindung kapal disaat musim gelombang. Saya kira, kalau hanya masalah-masalah teknis seperti ini gampang saja, tapi ini seolah membuat konflik ditengah-tengah serbuan wabah Covid 19, sungguh sangat kita sayangkan. Pemerintahan yang seharusnya saling berkoordinasi tapi ini seperti jalan masing-masing,” ujarnya.
Diketahui Pembangunan proyek Kementerian PUPR Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai (BWS) IV Sulawesi Tenggara. Anggaran untuk proyek tersebut senilai Rp 23,8 Miliar yang dikerjakan oleh PT. Tri Artha Mandiri yang berkantor di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Reporter: Anto