Jejak Van Der Klift di Mowewe: Dari Pohon Jati, Sekolah, hingga Akar Peradaban Injil di Sulawesi Tenggara
- Penulis: Dekri Adriadi
Di pelataran Gereja Protestan Jemaat Matahilo, Kecamatan Mowewe, berdiri tegak sebuah pohon jati tua. Usianya hampir satu abad. Bagi warga Mowewe, pohon itu bukan sekadar pohon — ia adalah saksi bisu awal mula masuknya Injil ke tanah Sulawesi Tenggara.
Pohon jati itu diyakini ditanam oleh Ds. Hendrik Van Der Klift, misionaris asal Belanda yang datang ke wilayah ini pada 1915. Dari tempat terpencil di lembah Mowewe, pria Belanda itu memulai misinya — bukan hanya menyebarkan Injil, tapi juga memperkenalkan pendidikan dan layanan kesehatan modern bagi masyarakat lokal.
Awal Sebuah Misi
Van Der Klift tiba di Kolaka pada 1915 dan membangun tempat tinggal sederhana sebelum akhirnya berpindah ke Mowewe setahun kemudian untuk menghindari wabah penyakit. Bersama sang istri, ia memulai pelayanan kemanusiaan yang mencakup bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian.
“Melihat kondisi masyarakat saat itu, Van Der Klift mulai mengajak warga hidup sehat dan belajar merawat bayi,” tutur Pdt. Jery S., Sekretaris Umum BPM Sinode Gepsultra, yang menelusuri sejarah penginjilan di Sultra.
Van Der Klift juga mendirikan sekolah-sekolah di Mowewe, Tinondo, dan Raterate, dan mendatangkan guru-guru dari Manado serta Maluku. Tidak hanya mengajarkan baca-tulis, ia membentuk sekolah guru agar masyarakat lokal dapat melanjutkan misinya setelah ia tiada.
“Dalam empat tahun, sudah lahir tenaga pendidik dari Mowewe yang kemudian melanjutkan tugas Van Der Klift,” ujar Jery.
Dari Bak Mandi hingga Klinik Kesehatan
Jejak peninggalan Van Der Klift masih bisa ditemukan di Mowewe. Dekat Gereja Matahilo, terdapat bak mandi besar berukuran 11×12 meter yang dulu digunakan untuk kebutuhan warga dan pelayanan kesehatan. Pondasi rumah Van Der Klift pun masih tampak — sebagian material bangunannya disebut berasal langsung dari Belanda.
Selain sekolah, Van Der Klift juga membangun klinik kesehatan dan merawat warga secara cuma-cuma. Ia bahkan mengajarkan dasar-dasar medis kepada Benjamin Guluh, warga lokal yang kemudian menjadi asisten kesehatannya. Kini, nama Benjamin Guluh diabadikan sebagai nama rumah sakit umum daerah (RSUD) Kolaka.
Pohon Jati yang Menolak Ditebang
Cerita unik muncul dari keberadaan pohon jati di halaman gereja. Menurut Suparjo, warga Mowewe, pohon tersebut dianggap sebagai simbol kedatangan Van Der Klift dan karenanya tidak pernah dijual atau ditebang.
“Pernah ada warga dari Jepara yang menawar pohon itu untuk dijadikan furnitur, tapi ditolak. Majelis jemaat menolak karena itu situs sejarah,” kata Suparjo.
Pemerintah sempat berencana menebang pohon itu untuk pemasangan tiang listrik, namun jemaat gereja bersikeras mempertahankannya. “Akhirnya tiang listrik dipindahkan agar tidak mengganggu pohon jati,” ujarnya.
Bahkan, kabar beredar bahwa beberapa warga Mowewe sempat diberangkatkan ke Belanda dan Jerman hanya dengan membawa foto pohon jati tersebut. Biaya perjalanan mereka ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah kedua negara itu sebagai bentuk penghargaan terhadap peninggalan Van Der Klift.
Warisan Spirit dan Pendidikan
Tak hanya pendidikan formal, Van Der Klift juga memperkenalkan cara bercocok tanam yang lebih produktif. Ia mengajarkan masyarakat menanam padi di sawah — bukan di ladang seperti kebiasaan saat itu. Meski sempat ditentang, metode itu akhirnya diterima setelah hasil panen terbukti lebih baik.
“Awalnya warga menolak karena harus berlumpur di sawah. Bahkan ada yang menyiram tanaman padi dengan air panas. Tapi Van Der Klift tak menyerah,” tutur Jery.
Lewat ketekunan dan teladan, ajaran Van Der Klift lambat laun diterima. Ia membaptis penduduk lokal pertama, Petrus Wongga, di lembah Mowewe, disusul oleh beberapa nama lain seperti Lama Tungga dan Korihi. Dari Mowewe, pekabaran Injil meluas ke Sanggona, Lambuya, Puriala, Kasipute, hingga Kendari.
Dari Zending ke Gepsultra
Setelah Van Der Klift, misionaris lain dari Belanda seperti Ds. G.C. Storm, Ds. De Kock, dan Ds. M.J. Gouwelous melanjutkan karyanya. Namun, masa pendudukan Jepang membuat penyebaran Injil terhenti. Baru pada 1952 dibentuk Badan Pekerja Bakal Gereja di Sultra, dan lima tahun kemudian, pada Sidang Sinode I di Kendari, lahirlah Gereja Kristen di Sultra (GKSTa).
Pada 1963, lembaga itu berubah nama menjadi Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (Gepsultra), yang terus berkembang hingga kini.
Menyambut 100 Tahun Injil Masuk Sultra
Seratus tahun setelah kedatangan Van Der Klift, Mowewe kembali bersiap menjadi pusat perayaan sejarah itu. Pada 13 Februari 2016, puncak peringatan 100 tahun Injil masuk Sulawesi Tenggara digelar di tempat di mana segalanya bermula.
Pohon jati di halaman Gereja Matahilo kini menjadi simbol keteguhan iman dan sejarah panjang perjalanan Injil di tanah Anoa — saksi hidup dari tangan seorang misionaris yang datang dari jauh, membawa cahaya pengetahuan dan kasih yang masih berakar hingga hari ini.







