KORUPSI DANA BANSOS COVID-19, PERHATIAN BAGI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
Adhe Ismail Ananda
(Pemerhati Hukum)
Korupsi merupakan salah satu permasalahan yang dianggap krusial dan fundamental oleh banyak negara di dunia. Hal tersebut lantaran korupsi marak terjadi di berbagai negara dengan sistem hukum dan bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Korupsi menjadi masalah yang pelik dan sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata, melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan dan penegakkan hukum. Dalam pemberantasan korupsi memang nyatanya sangat kompleks karena hal ini menyangkut aspek politik, kekuasaan, dan penegakkan hukum. Pada hakikatnya, praktik korupsi tidak pandang bulu, dikarenakan korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum dan tergolong sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime).
Maka apapun sistem hukum yang berlaku di suatu negara, korupsi akan tetap menemukan celah untuk mencurangi sistem hukum di negara tersebut. Korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa tentunya juga membutuhkan penegakan hukum yang luar biasa pula, dikarenakan dampak yang diberikan daripada perbuatan tersebut sangat merugikan.
Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dipengaruhi oleh budaya hukum Indonesia itu sendiri, karena budaya hukum sangat mempengaruhi bagaimana suatu negara memberantas dan mencegah praktik tindak pidana korupsi, sebagai contoh pemerintah dan masyarakatnya sudah terbiasa hidup tidak jujur maka praktik korupsi tidak akan pernah hilang bahkan akan timbul praktik-praktik tindak pidana korupsi yang baru.
Budaya hukum (legal culture) mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana dalam pemberantasan korupsi di Indonesia karena hukum sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan.
Tetapi yang paling membuat tindak pidana korupsi yang akhir-akhir ini berbeda adalah kejahatan luar biasa tersebut dilakukan meskipun di tengah pandemi covid-19.
Kasus korupsi yang terjadi di tengah pandemi Covid-19 tentunya sangat memprihatinkan. Saat bangsa Indonesia banyak yang sedang susah karena perputaran roda ekonomi yang melambat, anggaran negara banyak terkuras untuk penanganan Covid-19, para tenaga kesehatan dan aparat lainnya sedang berjuang melawan Covid-19, ini malah korupsi.
Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia ternyata tidak membuat praktik korupsi berhenti. Dalam dua dua pekan terakhir publik dikejutkan oleh dua kasus korupsi yang diduga melibatkan menteri.
Tanggal 25 November 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo beserta istri dan beberapa orang lainnya yang diduga menerima suap terkait ekspor bibit lobster (benur), kemudian tanggal 5 Desember 2020 KPK juga menangkap Menteri Sosial Julian Batubara beserta beberapa orang lainnya terkait suap Bantuan sosial (bansos) Covid-19 senilai 17 M.
Selain kedua Menteri tersebut, KPK pun meng-OTT walikota Cimahi Ajay Priatna atas dugaan menerima suap pembangunan sebuah rumah sakit dan beberapa kepala daerah lainnya. Bahkan ada diantara mereka yang saat ini maju menjadi calon kepala daerah.
Korupsi yang melanda hampir semua institusi publik (eksekutif, legislatif dan judikatif) menyebabkan kepercayaan masyarakat berkurang terhadap para pejabat penyelenggara negara yang terlibat korupsi.
Apalagi menjadikan Bantuan sosial Covid-19 sebagai lahan empuk untuk dan objek korupsi. Ditengah banyaknya warga yang membutuhkan bansos tersebut, tetapi dibalik itu, dana bansos jadi ajang bancakan sejumlah pejabat dan pihak swasta.
Hal ini pun mencoreng upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo dan para kepala daerah yang sudah sangat serius menangani Covid-19.
Khusus tindak pidana korupsi bantuan social, Presiden maupun KPK pernah mengancam akan memberikan tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana bencana termasuk dana penanganan covid-19.
Namun dalam kasus dugaan korupsi ini, KPK tidak mengenakan pasal 2 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi yang didalamnya terdapat ancaman hukuman mati.
Pasal yang di gunakan KPK dalam kasus ini adalah Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 (1) KUHP, yang kesemuanya mengkategorikan keterlibatan Menteri social sebagai penerima gratifikasi dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Publik kemudian mempertanyakan mengenai komitmen dan tindakan tegas dari presiden dan KPK yang mengancam akan memberikan tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana bencana termasuk dana penanganan covid-19.
Telah disebutkan dalam pasal 2 (1), bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), kemudian dalam pasal 2 (2) disebutkan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dengan demikian, ancaman hukuman mati dapat diterapkan terhadap yang dijerat dengan Pasal 2 UU Tipikor dengan syarat tertentu. Sementara itu, meski tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan mensos terkait bansos untuk Covid-19, dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.
Tetapi dalam keterangannya, KPK akan tetap mengusut dan mengembangkan kasus ini, termasuk kemungkinan untuk menerapkan Pasal 2 UU Tipikor terkait pengadaan bansos di Kemensos.
Menurut hemat penulis, mengingat tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime tentunya juga membutuhkan penegakan yang luar biasa. Polemic mengenai ancaman pidana mati terhadap kasus ini dikarenakan penafsiran frasa “Keadaan Tertentu” di Pasal 2 UU Tipikor.
Penjelasan tentang UU Tipikor menyebutkan bahwa, Yang dimaksud dengan “Keadaan Tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Kata “nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan bagian penjelasan norma Pasal 2 UU Tipikor yang termasuk penerapan asas “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa didasari peraturan yang mendahuluinya”.
Hal ini berarti norma pidana yang dibangun secara ketat dengan mengukur bentuk kerugian, besar dan ringannya kerugian, serta dampak yang timbul akibat tindak pidana itu. Sehingga menurut penulis, penerapan pasal 2 UU Tipikor dalam Kasus Korupsi Dana Bansos telah memenuhi unsur.
Karena Covid-19 sudah termasuk dalam kategori bencana nasional dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya yang bergerak dibidang penindakan tindak pidana korupsi untuk menuntut tuntas adanya potensi penyalahgunaan dana bantuan social yang di gunakan untuk penanganan covid-19 harus di dukung penuh.
Kasus yang terjadi hari ini menjadi warning atau peringatan bagi semua sector, termasuk pemerintah daerah yang mengalokasikan dana besar bagi penanganan covi-19.
Perlunya transparansi, akuntabilitas, dan penggunaan tepat sasaran dalam pengelolaan dana-dana tersebut harusnya menjadi prioritas bagi pemerintah daerah di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap pejabat public.
Karena sekali lagi bahwa dalam pemberantasan korupsi memang nyatanya sangat kompleks karena hal ini menyangkut aspek politik, kekuasaan dan penegakkan hukum.
Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi harus didukung dan diawasi oleh semua pihak.
Penyelenggara negara, penegak hukum serta masyarakat pun harus turut ambil andil dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan demikian akan terwujud sebuah sinergi, rasa tanggung jawab dan rasa saling percaya antara negara dan masyarakat.